Antara Do’a dan Harapan

Mei 14, 2008

Selamat pagi, Salam sejahtera untuk kita semua.

Seusai shalat subuh berjama’ah di masjid pagi tadi kami ngumpul membicarakan program infaq kematian. Kang Didin yang ditunjuk sebagai ketua program ini menginformasikan hasil kerjanya, terutama menyangkut DKM dengan lembaga Ke Rw an. Hasilnya cukup bagus, program ini bisa digulirkan. Disela-sela obrolan setelah bahasan program kematian itu Kang Agus yang termenung sejak obrolan dimulai baru berkomentar. “Kadang apa yang kita harapkan tidak jadi kenyataan, bahkan do’a yang kita panjatkan serasa tidak mempunyai jawaban” ujarnya. Kami semua yang hadir disana menahan nafas dan tertegun. Memikirkan kalimat yang baru saja terujar. “Itulah dhon (prasangka) kebanyakan dari kita, walau kita gak mengucapkannya karena kita msih mempunyai rasa takut dengan konsekuensi ucapak kita”, tambahnya. Obrolan pun jadi semakin menghangat, namun waktu sudah menunjukan pukul 06.00 Wib waktunya berangkat kerja. Apalagi kebanyakan dari kami yang hadir semua jauh dari tempat kerjanya, maklum kami mukim di pinggiran kota Bandung.

Ungkapan kang Agus di atas mungkin juga mewakili dari kebanyakan kita. Kadang kita merasa lelah berdo’a, padahal Alloh tidak akan lelah dan bosan kabulkan permintaan kita. Harapan-harapan kita tak kunjung menjadi kenyataan, padahal justru kehidupan yang kita jalani adalah jawaban-jawaban dari Sang Maha Pengabul Do’a atas semua harapan kita. Permasalahannya adalah sejauh mana kita paham terhadap do’a dan harapan kita. Sudahkah kita reorientasi do’a dan harapan kita? Apakah ketika kita panjatkan do’a demi suatu harapan, kita sertakan kepentingan agama?  Atau sudahkah kita pintakan juga kepentingan orang-orang sekitar kita yang jauh lebih membutuhkan ‘penjelmaan’ dari sebuah harpannya? Sudahkah kita mohonkan ampunan untuk orang tua kita, sebelum mohon ampunan untuk kita? Satu-satu orang yang sangat berjasa kepada kita bayangkan dan kita mohonkan ampun untuk mereka, mohonkan keberkahan untuk mereka serta mohonkan kekuatan ketika mereka sangat-sangat lemah dan membutuhkan pertolongan, … sudahkah?

Kebanyakan dari kita egois dalam hal berdo’a, sangat jarang kita memohonkan sesuatu untuk saudara kita. Kita terlalu sibuk dengan daftar harapan-harapan dan doa’a kita sendiri dan jarang bahkan tidak sama sekali memikirkan harapan-harapan yang mungkin lebih pantas diberikan  untukmereka dari pada kita. Daftar permohonan kita berubah setiap hari, hari ini A, besok B dan besoknya lagi C dan terus … berubah.

Hakikatnya do’a adalah usaha bathin kita untuk mewujudkan semua harapan-harapan kita. Namun ketika harapan itu belum kita gapai, do’a yang kita panjatkan belum terwujud ketahuilah bahwa sesutau tengah terjadi. Sesuatu tengah kita gapai, sesuatu tengah wujud bersama kehidupan kita. Secara tidak kita sadari semua permohonan kita tengah diproses oleh Sang Maha Mengbulkan Do’a – Alloh SWT. Nah, permasalahan selanjutnya adalah kesiapan kita menghadapi sesuatu itu dalam hidup kita. Bisakah kita terima keadaan kita dengan apa adanya (qonaah). Sebab hidup terindah adalah “MENERIMA APA YANG ADA, SENANTIASA BERUSAHA UNTUK MEREALISASIKAN SEMUA HARAPAN KITA”.